PENDAHULUAN
Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan hal penting apabila kita hendak memahami al-Qur’an Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan salah satu syarat yang harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkan al-Qur’an di samping ilmu ilmu lainnya.[1]
Karena dengan mengetahui asbab al nwul akan mengantarkan kita pada pengetahuan tentang makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat.[2] Selain itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara dan menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat. Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul akan mengantarkan pada pengetahuan tentang musabbab.[3]
Berdasarkan pernyataan di atas, betapa mempelajari dan mengetahui Asbab al-Nuzul merupakan suatu hal yang urgen dalam konteks penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, penulis dalam makalah ini akan mengemukakan landasan teoritis tentang asbab al-Nuzul yang didalamnya diuraikan tentang pengertian Asbab al-Nuzul, keragaman dan ruang lingkup asbab al-Nuzul, ikhtilaf ulama seputar Asbab al-Nuzul, metode penggunaan dan pentarjihan, serta tidak lupa dikemukakan tentang urgensi asbab al-Nuzul bagi penafsiran al-Qur’an.
A. Pengertian, Keragaman dan Ruang lingkup
1. Pengertian Asbab al-Nuzul
Asbab al-Nuzul berasal dari kata asbab bentuk jamak dari sabab yang secara bahasa artinya adalah segala sesuatu yang dengannya sampai kepada yang lainnya.[4] Sedangkan kata nuzul adalah masdar dari Nazala yang secara bahasa artinya adalah turun atau penurunan. Penurunan di sini berkaitan dengan penurunan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW berupa ayat-ayat yang terkumpul dalam al-Qur’an. Dengan demikian secara bahasa Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang dengannya turun ayat-ayat al-Quran kepada masyarakat Arab melalui Nabi Muhammad SAW.
Menurut Muhyidin dan Rosihan Anwar, Ashab al-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata Asbab dan Nuzul. SecaraEtimologi, Asbab al-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab al-Nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan Asbab al-Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an. Seperti halnya Asbab al-Wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab munculnya hadits.
Secara terminologis banyak rumusan Asbab al-Nuzul yang telah diformulasikan oleh para ulama Ulumul Quran, di antaranya adalah sebagai berikut:
– Al-Zarqani
“Asbab al-Nuzul adalah kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum saat peristiwa itu terjadi.”[5]
– Abu Syuhbah
Asbab al-Nuzul diartikan sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[6]
– Syubhi Salih
“Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an, ayat-ayat itu terkadang mensiratkan peristiwa itu sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi”[7]
– Man’a al-Qathan
“Asbab al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan al-Quran turun berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan Nabi SAW.[8]
– Al-Shabuny
“Asbab al-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi mengenai hukum syari’ atau meminta penjelasan yang berkaitan dengan urusan agama.[9]
Demikian redaksi-redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, namun semuanya menyimpulkan bahwa yang disebut Asbab al-Nuzul adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an. Turunnya ayat al-Qur’an kepada Rasul tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut. Asbab al-Nuzul nerupakan bahan-bahan sejarah yang dapat dipakai untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran al-Qur’an dan memberinya konteks dalam memahami perintah-Nya. Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa al-Qur’an masih turun.
Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an menyebutkan beberapa bentuk peristiwa yang melatarbelakangi tujunnya ayat al-Qur’an yang sangat beragam, di antaranya:
1. Konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj yang menyebabkan turunnya surat Ali Imran ayat 100.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.
2. Adanya kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami shalat dalarn keadaan mabuk, yang menyebankan turunnya surat al-Nisa ayat 43:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,…”
3. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Rosul tentang masa lalu masa sekarang, dan masa yang akan datang. Misalnya surat al-Kahfi ayat 83, al-Isra ayat 85 dan al-‘Araf ayat 187.
Artinya: “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”.
Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.
Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”.
Itulah beberapa contoh Asbab al-Nuzul ayat yang menjelaskan kepada kita bahwa sebab-sebab turunnya ayat itu tidaklah satu bentuk saja, melainkan kadang-kadang berupa pemecahan masalah, jawaban atas suatu pertanyaan, menjelaskan suatu kejadian, atau yang lainnya sesuai dengan kebutuhan.
2. Ruang Lingkup Asbab al-Nuzul
Turunnya ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:
- Ayat -ayat yang turun tanpa didahului oleh sebab-sebab tertentu berupa peristiwa atau pertanyaan.
- Ayat-ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu secara khusus dalam sebuah peristiwa atau sebuah pertanyaan.[10]
Pendapat tersebut di atas hampir merupakan konsensus ulama Ulum Al-Qur’an. Akan tetapi ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa konteks kesejarahan Arabia pra al-Qur’an dan pada masa al-Qur’an diturunkan merupakan latar belakang makro diturunkannya al-Qur’an (Asbab al-Nuzul Makro), sementara riwayat-riwayat Asbab al-Nuzul yang ada dalam kumpulan hadits Nabi, merupakan mikronya (Asbab al-Nuzul Mikro).[11]
Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat al-Qur’an memiliki sebab sebab yaang melatarbelakanginya.
B. Ikhtilaf Ulama Seputar Asbab al-Nuzul
1. Periwayatan Asbab al-Nuzul
Para ulama sangat menghargai periwayatan para sahabat sebagai periwayatan yang tidak disangsikan lagi keberadaanya dengan alasan bahwa dasar periwayatan mereka dengan mendengar langsung dari Rasul. Ulama ahli Hadits menetapkan bahwa seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turunnya wahyu, jika beliau meriwayatkan tentang turunnya suatu ayat tentang ini dan itu, maka periwayatannya temasuk periwayatan hadits marfu’.[12]
Sementara itu, apabila ada seorang tabi’in meriwayatkan hadits tentang Asbab al-Nuzul tidak dapat dipandang sebagai periwayatan yang sahih dan hanya rnencapai derajat mursal,[13] kecuali periwayatannya tersebut diperkuat oleh hadist mursal lainnya yang diriwayatkan oleh salah seorang ahli tafsir yang periwayatannya dapat dipastikan diambil dari sahabat Nabi. Para ahli tafsir tersebut di antarannya adalah Mujahid Ikrimah, dan Said bin Al-Jubair,[14] dikarenakan para tabi’in tersebut tidak hidup bersama Nabi dan tidak menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an.
Penilaian terhadap asbab al-Nuzul juga dilihat dari ungkapan yang digunakan dalam menentukan asbab al-Nuzul Apabila seorang perawi secara jelas menyebutkan kata sabab seperti
atau menggunakan fa ta’qibiyah seperti
Ungkapan ini menunjukkan Asbab al-Nuzul secara pasti dan tidak mengandung makna lain. Sedangkan apabila para perawi tersebut menggunakan ungkapan
Ungkapan ini menunjukkan pengertian Sabab al-Nuzul dan makna lainnya, yaitu tentang hukum yang dimaksud dari Sabab Nuzul tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Taimiyah bahwa ungkapn tersebut di atas terkadang dimaksudkan untuk Sabab al-Nuzul dan terkadang juga untuk hukumnya.[15] Namun menurut al-Zarkasyi, yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah hukum dari ayat tersebut dan bukan Sabab al-Nuzulnya”.[16]
2. Umum Lafazh dan Khusus al-Sabab
Istilah umum al-Lafazh dan Khusus al-Sabab mengandung empat pengertian –yaitu umum, Lafaz, Khusus dan Sabab. Istilah-istilah tersebut secara bahasa berarti:
– Lafazh yang di dalamnya mencakup seluruh satuan tanpa ada batasan[17]
– Sesuatu yang diucapkan berupa perkataan[18]
– Terputusnya satuan dari perserikatan.[19]
– Sesuatu yang dengannya sampai kepada sesuatu yang lain [20]
Umum al-lafazh dan Khusus al-Sabab menjadi perdebatan di kalangan ulama tafsir maupun ulama Ushul. Perdebatan ini telah menimbulkan dua golongan dalam pengambilan hukum ayat al-Qur’an. Kedua golongan tersebut mernpunyai argumentasi masinng-masing dalam menguatkan pendapat mereka.
- a. Al-‘Ibrah bi Umum al-Lafazh la bi Khusus al-Sabab
Jumhur Ulama menyatakan bahwa apabila turun sebuah ayat, maka hukum yang diambil dari ayat tersebut adalah dengan melihat keumuman yang ditunjukan secara langsung oleh lafazh ayat tersebut. Artinya adalah,bahwa hukum-hukum ayat tersebut tidak terbatas hanya bagi orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, tetapi hukum tersebut berlaku bagi orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut dan bagi orang lain di luar sebab tadi. Contoh al-Qur’an surat al-Nur ayat 6:
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Sabab al-Nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan Hilal bin Umayah yang mendapati isterinya berzina dengan lelaki lain, sementara ia sendiri yang melihat kejadian itu dan tidak ada saksi lain. maka turunlah ayat ini untuk menjelaskan hukumnya. Hukum ayat tersebut tidak hanya berlaku bagi Hilal bin Umayah tetapi rmtuk orang lain dengan kasus sama seperti Hilal dan keumuman hukum tersebut dapat terlihat langsung dari lafazhnya yaitu lafazh الذين
Golongan ini pun memberikan beberapa argunen untuk menguatkan pendapat mereka:
– Yang dapat dijadikan hujjah adalah lafazh syar’i dan bukan kondisi yang mengelilinginya.
– Keumuman lafazh dapat diambil secara langsung dari ayat tersebut.
– Kebanyakan sahabat dan mujtahid mengambil keumuman lafazh dan bukan kekhususan sabab.[21]
- b. Al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafazh
Hukum yang dikandung oleh suatu ayat terbatas bagi peristiwa atau orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Adapun hukum yang berlaku bagi orang lain yang berada di luar sebab tadi tidak dapat diketahui secara langsung dari lafazh ayat tersebut melainkan dari dalil lain yang berupa qiyas.[22] Jika memenuhi syarat qiyas atau dihukumi dengan hadits Nabi:
“Hukumku atas seseorang adalah hukumku atas otang banyak”[23]
Argumentasi golongan ini adalah sebagai berikut:
- Ijma yang berlaku tentang ketidak bolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafazh yang umum yang datang dengan sebab khusus, walaupun ada mukhasisnya lafazh yang umum tersebut terbatas pada orang yang menjadi sebab saja dan tidak berlaku bagi yang lainnya.
- Periwayatan Asbab al-Nuzul yang telah dikumpulkan oleh para ulama akan berguna dengan memberlakukan kaidah ini.
- Penangguhan turunnya ayat sebagai keterangan dan jawaban dengan peristiwa atau pertanyaan menunjukan keharusan untuk memperhatikan sebab.
- Persesuian antara pernyataan dan jawabnya adalah wajib dalam pandangan hikmah dan ilmu balaghah dan hal ini akan terjadi dengan adanya persamaan antara lafazh yang umum dengan sebabnya yang khusus.[24]
3. Ta’addud al-Sabab
Ta’addud al-Sabab adalah adanya beberapa riwayat yang berbeda tentang sebuah ayat yang turun. Hal yang harus dilakukan adalah dengan meneliti periwayatan-periwayatan tersebut untuk mengetahui periwayatan yang dipegang. Bentuk-bentuk Asbab al-Nuzul satu ayat yang terdiri dari dua versi atau lebih menurut Muhammad Bakar Ismail ada 5 bentuk, yaitu:
a. Kedua versi riwayatnya sharih (pasti), tetapi kualitasnya berbeda. Yang satu shahih dan yang lainnya tidak shahih (dhaif), maka yang diambil adalah riwayat yang sharih dan shahih. Umpamanya dua riwayat Asbab al-Nuzul yang kontradiktif yang berkaitan dengan turunnya surat al-Dluha ayat 1-3:
Artinya: “1) Demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2) Dan demi malam apabila Telah sunyi (gelap), 3) Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.”
Versi pertama, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Jundab Al Bajali mengatakan: “Karena menderita sakit, Nabi Muhammad SAW, tidak mengerjakan shalat malam dua sampai tiga malam, seorang wanita datang kepada beliau sambil berkata : Wahai Muhammad aku tidak melihat setanmu lagi dan aku rnengira telah rneninggalkanmu”, Maka Allah menurunkan surat al-Dhuha ayat 1-3 di atas.
Sedang versi kedua yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Syaibah dari Hafash Ibnu Maesyarah dari ibunya dari neneknya (Khadam Rasulullah), mengatakan: “Seekor anak anjing masuk ke rumah Rasulullah SAW, dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Karenanya selama 4 hari Rasul SAW tidak menerima wahyu. Ketika ditanya tentang perihalnya beliau menjawab : “Jibril tidak menghubungiku, hatiku (Khadam Rasul) berkata: “alangkah baiknya jika kuperiksa langsung keadaan rumahya dan menyapu lantainya. Aku memasukkan sapu ke bawah tempat tidur dan mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian dalam keadaan dagu gemetar menerima wahyu. Oleh karena itu ketika menerima wahyu dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan al-Qur’an Surat al Dhuha ayat 1-3.
Studi kritis matan atas versi kedua di atas menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak shahih. Dalam hal ini Ibnu Hajar mengatakan bahwa Kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi karena anjing memang masyhur , tetapi keberadaannya sebagai Asbab al-Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu yang harus diambil adalah riwayat lain yang shahih yang ada dalam versi pertama riwayat Bukhari Muslim.[25]
b. Kedua versi riwayatnya shahih dan sharih ada kemungkinan untuk ditarjih, maka yang diambil adalah periwayatan yang rajih atas yang marjuh. Contohnya adalah periwayatan dari Bukhari dan Turmuzi mengenai Asbab al-Nuzul surat al-Isra ayat 85.
Hadits al-Bukhari lebih diterima dari Turrnuzi dengan alasan:
- Periwayatan Bukhari lebih sahih dibandingkan dengan periwayatan Turmuzi berdasarkan kesepakatan ulama hadits.
- Dalam periwayatan Bukhari ada Ibnu Mas’ud yang menyaksikan turunnya ayat tersebut
c. Kedua riwayat itu shahih dan sharih tetapi tidak memungkinkan untuk menyelesaikannya dengan studi selektif (tarjih). Maka langkah yang perlu diambil adalah melakukan studi kompromi (jama’). Sebagai contoh adalah dua versi riwayat asbab al-Nuzul yang melatar belakangi turunnya ayat:
Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”
Dalam versi riwayat Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal Ibnu Sa’ad dikatakan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat bernama Uwaimir yang bertanya kepada Rasul tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang suami yang mendapatkan isterinya berzina dengan orang lain. Tetapi dalam versi Bukhari melalui jalur Ibnu Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus Hilal Ibnu Umayyah dengan menuduh isterinya di depan Rasul, berzina dengan Sarikh lbnu Sahmi. Kedua riwayat tersebut sama-sama berkualitas shahih dan tidak rnungkin dilakukan studi selektif (tarjih). Karena kedua kejadian tersebut berdekatan masanya, maka kita mudah mengkompromikan keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak berselang lama, kedua sahabat itu bertanya kepada Rasul tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mula’anah di atas untuk menjawab pertanyaan kedua sahabat tadi. Dalam kasus ini al-Khatib berkata:”Kedua penanya itu kebetulan bertanya pada satu waktu.
d. Kedua versi riwayat kualitasnya shahih tetapi yang satu menggunakan redaksi yang sharih (pasti) sedangkan yang tainnya menggunakan redaksi yang rnuhtamilah (tidak pasti). Maka yang diambil adalah versi riwayat Asbab al-Nuzul yang menggunakan redaksi yang sharih. Umpamanya riwayat Asbab al-Nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli isterinya dari belakang. Mengenai kasus ini, Nafi’ berkata: “Suatu hari aku membaca ayat, nisa’ukum hartsun lakum. Ibnu Umar lalu berkata Tahukah engkau mengenai ayat ini di turunkan?, Tidak, Jawabku. ia melanjutkan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang. Sementara lbnu Umar menggunakan redaksi yang tidak sharih. Sedangkan dalam riwayat Jabir, dikatakan: Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi wanita dari belakang maka anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah ayat “nisa’ukum hartsun lakum”
Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”
Dalam kasus semacam di atas, riwayat Jabirlah yang harus dipakai, karena ia menggunakan redaksi yang sharih (pasti).
e. Kedua periwayatan tersebut sama shahihnya dan sama kuatnya sehingga tidak ada kemungkinan untuk ditarjih ataupun bukan merupakan peristiwa susulan, maka diyakini bahwa terdapat pengulangan turunnya wahyu atas ayat yang sama. Contohnya adalah Asbab al-Nuzul Surat Al-Nahl ayat 126-127 yang turun pada kesempatan berbeda dalam jarak waktu yang lama, yaitu pada saat Perang Uhud dan Futuh Makah. Sebagian Ulama menyatakan bahwa adanya pengulangan turunnya ayat yang sama adalah hal yang mungkin terjadi sebagai tadzkir dan nasehat atau pengulangan terhadap peristiwa dan penekanan terhadap makna ayat tersebut.
4. Ta’addud al-Nazil
Kebalikan dari permasalahan di atas adalah apabila terdapat beberapa ayat yang turun karena sebab yang satu. Dalam hal ini sepertinya tidak terdapat permasalahan yang serius karena hal tersebut adalah yang mungkin terjadi. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur, Abdurrazaq, Turmuzi, Ibn Jarir, Ibnu al Munzir Ibnu Abi Hatim, Tabhrani, dan Hakim yang mengatakan Sahib dari Salamah mengenai ayat 195 Surat al-Imran , Al-Ahzab ayat 35 dan Al Nisa ayat 32 dengan satu sebab yaitu pertanyaan Ummu Salamah.
Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (Q.S. Ali ‘Imran ayat 195).
Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab ayat 35).Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisa ayat 32)
C. Urgensi Asbab Al-Nuzul bagi Penafsiran Al-Qur’an
Para Ulama sepakat akan pentingnya pengetahuan Asbab al-Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an, karena kegunaannya dalam beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut:
- Membantu memahami ayat dan menghindarkan dari kesulitaan dalam memahaminya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan-pernyataan para ulama di antaranya Al-Wahidi, beliau mmenyatakan bahwa tidak mungkin mengetahui makna suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan pejelasan nengenai turunnya ayat dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Daqiq.
- Membantu mengetahui hikmah di balik penetapan hukum syara’, sehingga dapat menambah keimanan.
- Dapat menolak dugaan adanya pembatasan terhadap suatu ayat untuk hal-hal tertentu.
- Mengkhususkan sebuah hukum pada sebab bagi mereka yang berpendapat al-‘Ibrah bi Umum al-Lafazh.
- Mempermudah dalam menghapal wahyu, menguatkannya dalam ingatan orang yang mendengarnya. Karena pertalian antara sebab dan musabbab, hukum dan peristiwa-peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantap dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan .(23)
Tidak berlebihan apabila para ulama sangat menekankan pentingnya Asbab al-Nuzul ini agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an , yang hasilnya nanti akan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh sebab itu dalam menafsirkan al-Qur’an para mufassir juga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam berbagi kondisinya. Karena al-Qur’an pada awal turunnya pun sangat memperhatikan kondisi masyarakat Arab, sehingga ujaran-ujaran yang dipergunakan pun disesuaikan dengan kultur yang ada. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa al-Qur’an dapat didialogkan dan dipahami secara terbuka dengan kondisi sosial yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Quran al-Karim
Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Madkhal li Dirasat Al-Quran al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1992
Abdul Rahman al ‘Akh, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, Beirut : Dar al-Nafais, 1986
Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al Fiqh, Jakarta: Maktabatr al-Dakwah al-Islamiyah, 1968
Ajaz al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits, Wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989
Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Mishriyah, 1986
Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Wahidi, Ali bin Ahmad ,al-Asbab al-Nuzul, Saudi: Dar al-Ishlah, 1992
Zarkasyi, Muhammad, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt
Zarqani, Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Ihya al Kutub al-Arabiyyah, tt
Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut: Dar al Fikr , 1976
Mahmud al Thahaan, Taysir al-Mushthalah al-Hadist, Beirut: Dar al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1985
Al-Nasaiy, Sunan al-Nasaiy, Riyadh : Dar al-Salam li Nasyir wa Tanjil, 1999
[1] Al-Drahabi, At-Tafsir wa Al-Mufassirun, (Beirut : Dar al-Fikr, 1976), hal. 267
[2] Al-Wahidi, Asbab Al-Nuzul, (Saudi : Dar al-Ishlah, 1992), hal. 8
[3] Al Suyuthi, Al-Itqan fi Ulum al-Quran (Beirut: Dar al-Fikr, tt ), hal. 29
[4] Ibnu, Manzhur, Lisan al-Arab, (Mesir: Dar al Mishriyah , 1986 ), hal. 458
[5] Muhammad al-Zarqany, Manahil Irfan fi ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1988), hal. 103
[6] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasati al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), hal. 122
[7] Syubhi Salih, 1988, hal. 132
[8] Man’a al-Qathan, 1973, hal. 78
[9] Al-Shabuny, 1970, hal. 22
[10] Al-Suyuthy,
[11] Taufik Adnan Amal
[12] Hadits marfu adalah hadits yang disandarkan kepada Rasul dengan sanadnya yang bersambung. Lihat Mahmud al Thaharq Taysir Mushthalah al Hadits, (Beirut : Dar al Tsaqafah al Islamiyah l985), hal. 128.
[13] Dalam hadits mursal terdapat sanad yang gugur yaitu sahabat, tabiin tidak menyebutkan dari sahabat mana ia mengambil periwayatan tersebut tetapi langsung menyandarkannya kepada Rasul, berarti sanadnya tidak bersambung. Lihat Ajaj al Khatib, Ushul al hadits Ulumuhu wa Mustalahuhu,(Beirut: Dar al Fikr, 1989) hal. 337
[14] Al-Suyuthy
[15] Ibid, hal. 32
[16] Al Zarkasyi, al Burhan fi Ulum al Quran Beirut : Dar al Fikr, tt, hal. 56
[17] Abdul Rahman al ‘Ak , Ushul al Tafsir wa Qawa’iduhu, (Beirut : Dar al Nafais, 1986), hal. 78
[18] Ibnu Manzhur, Op. Cit, hal. 458
[19] Abdul Rahman, Op. Cit, hal 402
[20] Ibnu Manzhur, Loc. Cit hal.
[21] Al-zarqany, Manahil ai ,rfan fi Ulum al Quran, (Kairo: Dar allhya al Kutub al Arabiyya, tt) hal. 121-122
[22] Qiyas adalah menghubungkan suatu perkara yang tidak ada nash hukumnya kepada perkara yang ada
nash hukumnya karena adanya persamaan antara kedua perkara tersebut dalam illat hukumnya”. Lihat dalam Abdul Wahab Khalal Ilmu Ushul Fiqh, (Kairo: Maktabah Dakwah Islamiyah, 1963), hal. 52
[23] Al Nasaiy, Sunan Al Nasaiy, (Riyadh: Dar al Salam li Nasln wa al Tanzi, 1999), hal. 583
[24] Ibid, hal 123-124
[25] Al-Suyuthi, hal 33