ASBAB AL-NUZUL (Latar Belakang Historis Turunnya al-Quran)

PENDAHULUAN

Pengetahuan tentang  Asbab al-Nuzul merupakan hal penting apabila kita hendak memahami al-Qur’an Pengetahuan tentang Asbab al-Nuzul merupakan salah satu syarat yang harus dikuasai oleh para ulama yang hendak menafsirkan al-Qur’an di samping ilmu ilmu lainnya.[1]

Karena dengan mengetahui asbab al nwul akan mengantarkan kita pada pengetahuan tentang makna-makna dan maksud-maksud al-Qur’an serta mengetahui kejadian-kejadian yang menyertai turunnya sebuah ayat.[2] Selain itu juga untuk mengetahui di balik hikmah pembentukan hukum syara dan menghilangkan persangkaan yang sempit mengenai makna sebuah ayat. Ibnu Taimiyah juga menegaskan bahwa mengetahui Asbab al-Nuzul akan mengantarkan pada pengetahuan tentang musabbab.[3]

Berdasarkan pernyataan di atas, betapa mempelajari dan mengetahui Asbab al-Nuzul merupakan suatu hal yang urgen dalam konteks penafsiran al-Qur’an. Untuk itu, penulis dalam makalah ini akan mengemukakan landasan teoritis tentang asbab al-Nuzul yang didalamnya diuraikan tentang pengertian Asbab al-Nuzul, keragaman dan ruang lingkup asbab al-Nuzul, ikhtilaf ulama seputar Asbab al-Nuzul, metode penggunaan dan pentarjihan, serta tidak lupa dikemukakan tentang urgensi asbab al-Nuzul bagi penafsiran al-Qur’an.

A. Pengertian, Keragaman dan Ruang lingkup

1. Pengertian Asbab al-Nuzul

Asbab al-Nuzul berasal dari kata asbab bentuk jamak dari sabab yang secara bahasa artinya adalah segala sesuatu yang dengannya sampai kepada yang lainnya.[4] Sedangkan kata nuzul adalah masdar dari Nazala yang secara bahasa artinya adalah turun atau penurunan. Penurunan di sini berkaitan dengan penurunan wahyu Allah kepada Nabi Muhammad SAW berupa ayat-ayat yang terkumpul dalam al-Qur’an. Dengan demikian secara bahasa Asbab al-Nuzul adalah segala sesuatu yang dengannya turun ayat-ayat al-Quran kepada masyarakat Arab melalui Nabi Muhammad SAW.

Menurut Muhyidin dan Rosihan Anwar, Ashab al-Nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata Asbab dan Nuzul. SecaraEtimologi, Asbab al-Nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu bisa disebut asbab al-Nuzul, namun dalam pemakaiannya ungkapan Asbab al-Nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya al-Qur’an. Seperti halnya Asbab al-Wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab munculnya hadits.

Secara terminologis banyak rumusan Asbab al-Nuzul yang telah diformulasikan oleh para ulama Ulumul Quran, di antaranya adalah sebagai berikut:

–  Al-Zarqani

“Asbab al-Nuzul adalah kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum saat peristiwa itu terjadi.”[5]

–  Abu Syuhbah

Asbab al-Nuzul diartikan sebagai kasus atau sesuatu yang terjadi serta ada hubungannya dengan turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi.[6]

–  Syubhi Salih

“Asbab al-Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat al-Qur’an, ayat-ayat itu terkadang mensiratkan peristiwa itu sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum di saat peristiwa itu terjadi”[7]

–  Man’a al-Qathan

“Asbab al-Nuzul adalah peristiwa-peristiwa yang menyebabkan al-Quran turun berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan Nabi SAW.[8]

–  Al-Shabuny

“Asbab al-Nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya suatu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi mengenai hukum syari’ atau meminta penjelasan yang berkaitan dengan urusan agama.[9]

Demikian redaksi-redaksi pendefinisian di atas sedikit berbeda, namun semuanya menyimpulkan bahwa yang disebut Asbab al-Nuzul adalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat al-Qur’an. Turunnya ayat al-Qur’an kepada Rasul tersebut dalam rangka menjawab, menjelaskan dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul dari kejadian-kejadian tersebut. Asbab al-Nuzul nerupakan bahan-bahan sejarah yang dapat dipakai untuk memberikan keterangan-keterangan terhadap lembaran-lembaran al-Qur’an dan memberinya konteks dalam memahami perintah-Nya. Sudah tentu bahan-bahan sejarah ini hanya melingkupi peristiwa-peristiwa pada masa al-Qur’an masih turun.

Al-Zarqani dalam Manahil al-Irfan fi ulum al-Qur’an menyebutkan beberapa bentuk peristiwa yang melatarbelakangi tujunnya ayat al-Qur’an yang sangat beragam, di antaranya:

1. Konflik sosial seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj yang menyebabkan turunnya surat Ali Imran ayat 100.

nuzul1

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebahagian dari orang-orang yang diberi Al kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.

2. Adanya kesalahan besar, seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimami shalat dalarn keadaan mabuk, yang menyebankan turunnya surat al-Nisa ayat 43:

nuzul2Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan,…”

3. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Rosul tentang masa lalu masa sekarang, dan masa yang akan datang. Misalnya surat al-Kahfi ayat 83, al-Isra ayat 85 dan al-‘Araf ayat 187.

nuzul3Artinya: “Mereka akan bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Dzulkarnain. Katakanlah: “Aku akan bacakan kepadamu cerita tantangnya”.

nuzul4Artinya: “Dan mereka bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: “Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit”.

nuzul5Artinya: “Mereka menanyakan kepadamu tentang kiamat: “Bilakah terjadinya?” Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang kiamat itu adalah pada sisi Tuhanku; tidak seorangpun yang dapat menjelaskan waktu kedatangannya selain Dia. kiamat itu amat berat (huru haranya bagi makhluk) yang di langit dan di bumi. kiamat itu tidak akan datang kepadamu melainkan dengan tiba-tiba”. mereka bertanya kepadamu seakan-akan kamu benar-benar mengetahuinya. Katakanlah: “Sesungguhnya pengetahuan tentang bari kiamat itu adalah di sisi Allah, tetapi kebanyakan manusia tidak Mengetahui”.

Itulah beberapa contoh Asbab al-Nuzul ayat yang menjelaskan kepada kita bahwa sebab-sebab turunnya ayat itu tidaklah satu bentuk saja, melainkan kadang-kadang berupa pemecahan masalah, jawaban atas suatu pertanyaan, menjelaskan suatu kejadian, atau yang lainnya sesuai dengan kebutuhan.

 2. Ruang Lingkup Asbab al-Nuzul

Turunnya ayat al-Qur’an terbagi menjadi dua bagian:

  1. Ayat -ayat yang turun tanpa didahului oleh sebab-sebab tertentu berupa peristiwa atau pertanyaan.
  2. Ayat-ayat yang turun karena sebab-sebab tertentu secara khusus dalam sebuah peristiwa atau sebuah pertanyaan.[10]

Pendapat tersebut di atas hampir merupakan konsensus ulama Ulum Al-Qur’an. Akan tetapi ada sementara pendapat yang mengatakan bahwa konteks kesejarahan Arabia pra al-Qur’an dan pada masa al-Qur’an diturunkan merupakan latar belakang makro diturunkannya al-Qur’an (Asbab al-Nuzul Makro), sementara riwayat-riwayat Asbab al-Nuzul yang ada dalam kumpulan hadits Nabi, merupakan mikronya (Asbab al-Nuzul Mikro).[11]

Pendapat ini berarti menganggap bahwa semua ayat al-Qur’an memiliki sebab sebab yaang melatarbelakanginya.

B. Ikhtilaf Ulama Seputar Asbab al-Nuzul

1. Periwayatan Asbab al-Nuzul

Para ulama sangat menghargai periwayatan para sahabat sebagai periwayatan yang tidak disangsikan lagi keberadaanya dengan alasan bahwa dasar periwayatan mereka dengan mendengar langsung dari Rasul. Ulama ahli Hadits menetapkan bahwa seorang sahabat Nabi yang mengalami masa turunnya wahyu, jika beliau meriwayatkan tentang turunnya suatu ayat tentang ini dan itu, maka periwayatannya temasuk periwayatan hadits marfu’.[12]

Sementara itu, apabila ada seorang tabi’in meriwayatkan hadits tentang Asbab al-Nuzul tidak dapat dipandang sebagai periwayatan yang sahih dan hanya rnencapai derajat mursal,[13] kecuali periwayatannya tersebut diperkuat oleh hadist mursal lainnya yang diriwayatkan oleh salah seorang ahli tafsir yang periwayatannya dapat dipastikan diambil dari sahabat Nabi. Para ahli tafsir tersebut di antarannya adalah Mujahid Ikrimah, dan Said bin Al-Jubair,[14] dikarenakan para tabi’in tersebut tidak hidup bersama Nabi dan tidak menyaksikan turunnya ayat-ayat al-Qur’an.

Penilaian terhadap asbab al-Nuzul juga dilihat dari ungkapan yang digunakan dalam menentukan asbab al-Nuzul Apabila seorang perawi secara jelas menyebutkan kata sabab seperti

nuzul6atau menggunakan fa ta’qibiyah seperti

nuzul7Ungkapan ini menunjukkan Asbab al-Nuzul secara pasti dan tidak mengandung makna lain. Sedangkan apabila para perawi tersebut menggunakan ungkapan

nuzul8

Ungkapan ini menunjukkan pengertian Sabab al-Nuzul dan makna lainnya, yaitu tentang hukum yang dimaksud dari Sabab Nuzul tersebut. Hal ini diperkuat oleh pendapat Ibnu Taimiyah bahwa ungkapn tersebut di atas terkadang dimaksudkan untuk Sabab al-Nuzul dan terkadang juga untuk hukumnya.[15] Namun menurut al-Zarkasyi, yang dimaksud dengan ungkapan ini adalah hukum dari ayat tersebut dan bukan Sabab al-Nuzulnya”.[16]

2. Umum Lafazh dan Khusus al-Sabab

Istilah umum al-Lafazh dan Khusus al-Sabab mengandung empat pengertian –yaitu umum, Lafaz, Khusus dan Sabab. Istilah-istilah tersebut secara bahasa berarti:

–  Lafazh yang di dalamnya mencakup seluruh satuan tanpa ada batasan[17]

–  Sesuatu yang diucapkan berupa perkataan[18]

–  Terputusnya satuan dari perserikatan.[19]

–  Sesuatu yang dengannya sampai kepada sesuatu yang lain [20]

Umum al-lafazh dan Khusus al-Sabab menjadi perdebatan di kalangan ulama tafsir maupun ulama Ushul. Perdebatan ini telah menimbulkan dua golongan dalam pengambilan hukum ayat al-Qur’an. Kedua golongan tersebut mernpunyai argumentasi masinng-masing dalam menguatkan pendapat mereka.

  1. a.   Al-‘Ibrah bi Umum al-Lafazh la bi Khusus al-Sabab

Jumhur Ulama menyatakan bahwa apabila turun sebuah ayat, maka hukum yang diambil dari ayat tersebut adalah dengan melihat keumuman yang ditunjukan secara langsung oleh lafazh ayat tersebut. Artinya adalah,bahwa hukum-hukum ayat tersebut tidak terbatas hanya bagi orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, tetapi hukum tersebut berlaku bagi orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut dan bagi orang lain di luar sebab tadi. Contoh al-Qur’an surat al-Nur ayat 6:

nuzul9Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”

Sabab al-Nuzul ayat ini adalah berkenaan dengan Hilal bin Umayah yang mendapati isterinya berzina dengan lelaki lain, sementara ia sendiri yang melihat kejadian itu dan tidak ada saksi lain. maka turunlah ayat ini untuk menjelaskan hukumnya. Hukum ayat tersebut tidak hanya berlaku bagi Hilal bin Umayah tetapi rmtuk orang lain dengan kasus sama seperti Hilal dan keumuman hukum tersebut dapat terlihat langsung dari lafazhnya yaitu lafazh الذين

Golongan ini pun memberikan beberapa argunen untuk menguatkan pendapat mereka:

–  Yang dapat dijadikan hujjah adalah lafazh syar’i dan bukan kondisi yang mengelilinginya.

–  Keumuman lafazh dapat diambil secara langsung dari ayat tersebut.

–  Kebanyakan sahabat dan mujtahid mengambil keumuman lafazh dan bukan kekhususan sabab.[21]

  1. b.    Al-Ibrah bi Khusus al-Sabab la bi Umum al-Lafazh

Hukum yang dikandung oleh suatu ayat terbatas bagi peristiwa atau orang yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut. Adapun hukum yang berlaku bagi orang lain yang berada di luar sebab tadi tidak dapat diketahui secara langsung dari lafazh ayat tersebut melainkan dari dalil lain yang berupa qiyas.[22] Jika memenuhi syarat qiyas atau dihukumi dengan hadits Nabi:

“Hukumku atas seseorang adalah hukumku atas otang banyak”[23]

Argumentasi golongan ini adalah sebagai berikut:

  • Ijma yang berlaku tentang ketidak bolehan mengeluarkan sebab dari hukum lafazh yang umum yang datang dengan sebab khusus, walaupun ada mukhasisnya lafazh yang umum tersebut terbatas pada orang yang menjadi sebab saja dan tidak berlaku bagi yang lainnya.
  • Periwayatan Asbab al-Nuzul yang telah dikumpulkan oleh para ulama akan berguna dengan memberlakukan kaidah ini.
  • Penangguhan turunnya ayat sebagai keterangan dan jawaban dengan peristiwa atau pertanyaan menunjukan keharusan untuk memperhatikan sebab.
  • Persesuian antara pernyataan dan jawabnya adalah wajib dalam pandangan hikmah dan ilmu balaghah dan hal ini akan terjadi dengan adanya persamaan antara lafazh yang umum dengan sebabnya yang khusus.[24]

3. Ta’addud al-Sabab

Ta’addud al-Sabab adalah adanya beberapa riwayat yang berbeda tentang sebuah ayat yang turun. Hal yang harus dilakukan adalah dengan meneliti periwayatan-periwayatan tersebut untuk mengetahui periwayatan yang dipegang. Bentuk-bentuk Asbab al-Nuzul satu ayat yang terdiri dari dua versi atau lebih menurut Muhammad Bakar Ismail ada 5 bentuk, yaitu:

a. Kedua versi riwayatnya sharih (pasti), tetapi kualitasnya berbeda. Yang satu shahih dan yang lainnya tidak shahih (dhaif), maka yang diambil adalah riwayat yang sharih dan shahih. Umpamanya dua riwayat Asbab al-Nuzul yang kontradiktif yang berkaitan dengan turunnya surat al-Dluha ayat 1-3:

nuzul11Artinya: “1) Demi waktu matahari sepenggalahan naik, 2) Dan demi malam apabila Telah sunyi (gelap), 3) Tuhanmu tiada meninggalkan kamu dan tiada (pula) benci kepadamu.”

Versi pertama, yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim dari Jundab Al Bajali mengatakan: “Karena menderita sakit, Nabi Muhammad SAW, tidak mengerjakan shalat malam dua sampai tiga malam, seorang wanita datang kepada beliau sambil berkata : Wahai Muhammad aku tidak melihat setanmu lagi dan aku rnengira telah rneninggalkanmu”,  Maka Allah menurunkan surat al-Dhuha ayat 1-3 di atas.

Sedang versi kedua yang diriwayatkan oleh Thabrani dan Ibnu Syaibah dari Hafash Ibnu Maesyarah dari ibunya dari neneknya (Khadam Rasulullah), mengatakan: “Seekor anak anjing masuk ke rumah Rasulullah SAW, dan bersembunyi di bawah tempat tidur sampai mati. Karenanya selama 4 hari Rasul SAW tidak menerima wahyu. Ketika ditanya tentang perihalnya beliau menjawab : “Jibril tidak menghubungiku, hatiku (Khadam Rasul) berkata: “alangkah baiknya jika kuperiksa langsung keadaan rumahya dan menyapu lantainya. Aku memasukkan sapu ke bawah tempat tidur dan mengeluarkan bangkai anjing darinya. Nabi kemudian dalam keadaan dagu gemetar menerima wahyu. Oleh karena itu ketika menerima wahyu dagu Nabi selalu bergetar. Maka Allah menurunkan al-Qur’an Surat al Dhuha ayat 1-3.

Studi kritis matan atas versi kedua di atas menempatkan status riwayatnya pada kualitas tidak shahih. Dalam hal ini Ibnu Hajar mengatakan bahwa Kisah keterlambatan Jibril menyampaikan wahyu kepada Nabi karena anjing memang masyhur , tetapi keberadaannya sebagai Asbab al-Nuzul adalah asing (gharib) dan sanadnya ada yang tidak dikenal. Oleh karena itu yang harus diambil adalah riwayat lain yang shahih yang ada dalam versi pertama riwayat Bukhari Muslim.[25]

b. Kedua versi riwayatnya shahih dan sharih ada kemungkinan untuk ditarjih, maka yang diambil adalah periwayatan yang rajih atas yang marjuh. Contohnya adalah periwayatan dari Bukhari dan Turmuzi mengenai Asbab al-Nuzul surat al-Isra ayat 85.

nuzul12Hadits al-Bukhari lebih diterima dari Turrnuzi dengan alasan:

  • Periwayatan Bukhari lebih sahih dibandingkan dengan periwayatan Turmuzi berdasarkan kesepakatan ulama hadits.
  • Dalam periwayatan Bukhari ada Ibnu Mas’ud yang menyaksikan turunnya ayat tersebut

c. Kedua riwayat itu shahih dan sharih tetapi tidak memungkinkan untuk menyelesaikannya dengan studi selektif (tarjih). Maka langkah yang perlu diambil adalah melakukan studi kompromi (jama’). Sebagai contoh adalah dua versi riwayat asbab al-Nuzul yang melatar belakangi turunnya ayat:

nuzul13Artinya: “Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya dia adalah termasuk orang-orang yang benar.”

Dalam versi riwayat Bukhari dan Muslim melalui jalur Shahal Ibnu Sa’ad dikatakan bahwa ayat itu turun berkenaan dengan salah seorang sahabat bernama Uwaimir yang bertanya kepada Rasul tentang apa yang harus dilakukan oleh seorang suami yang mendapatkan isterinya berzina dengan orang lain. Tetapi dalam versi Bukhari melalui jalur Ibnu Abbas dikatakan bahwa ayat tersebut turun dengan dilatarbelakangi oleh kasus Hilal Ibnu Umayyah dengan menuduh isterinya di depan Rasul, berzina dengan Sarikh lbnu Sahmi. Kedua riwayat tersebut sama-sama berkualitas shahih dan tidak rnungkin dilakukan studi selektif (tarjih). Karena kedua kejadian tersebut berdekatan masanya, maka kita mudah mengkompromikan keduanya. Dalam jangka waktu yang tidak berselang lama, kedua sahabat itu bertanya kepada Rasul tentang masalah serupa, maka turunlah ayat mula’anah di atas untuk menjawab pertanyaan kedua sahabat tadi. Dalam kasus ini al-Khatib berkata:”Kedua penanya itu kebetulan bertanya pada satu waktu.

d.       Kedua versi riwayat kualitasnya shahih tetapi yang satu menggunakan redaksi yang sharih (pasti) sedangkan yang tainnya menggunakan redaksi yang rnuhtamilah (tidak pasti). Maka yang diambil adalah versi riwayat Asbab al-Nuzul yang menggunakan redaksi yang sharih. Umpamanya riwayat Asbab al-Nuzul yang menceritakan kasus seorang lelaki yang menggauli isterinya dari belakang. Mengenai kasus ini, Nafi’ berkata: “Suatu hari aku membaca ayat, nisa’ukum hartsun lakum. Ibnu Umar lalu berkata Tahukah engkau mengenai ayat ini di turunkan?,  Tidak, Jawabku. ia melanjutkan, ayat ini diturunkan berkenaan dengan menyetubuhi wanita dari belakang. Sementara lbnu Umar menggunakan redaksi yang tidak sharih. Sedangkan dalam riwayat Jabir, dikatakan: Seorang Yahudi mengatakan bahwa apabila seseorang menyetubuhi wanita dari belakang maka anak yang lahir akan juling. Maka diturunkanlah ayat “nisa’ukum hartsun lakum”

nuzul14Artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki…”

Dalam kasus semacam di atas, riwayat Jabirlah yang harus dipakai, karena ia menggunakan redaksi yang sharih (pasti).

e. Kedua periwayatan tersebut sama shahihnya dan sama kuatnya sehingga tidak ada kemungkinan untuk ditarjih ataupun bukan merupakan peristiwa susulan, maka diyakini bahwa terdapat pengulangan turunnya wahyu atas ayat yang sama. Contohnya adalah Asbab al-Nuzul Surat Al-Nahl ayat 126-127 yang turun pada kesempatan berbeda dalam jarak waktu yang lama, yaitu pada saat Perang Uhud dan Futuh Makah. Sebagian Ulama menyatakan bahwa adanya pengulangan turunnya ayat yang sama adalah hal yang mungkin terjadi sebagai tadzkir dan nasehat atau pengulangan terhadap peristiwa dan penekanan terhadap makna ayat tersebut.

4. Ta’addud al-Nazil

Kebalikan dari permasalahan di atas adalah apabila terdapat beberapa ayat yang turun karena sebab yang satu. Dalam hal ini sepertinya tidak terdapat permasalahan yang serius karena hal tersebut adalah yang mungkin terjadi. Contohnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Said bin Mansur, Abdurrazaq, Turmuzi, Ibn Jarir, Ibnu al Munzir Ibnu Abi Hatim, Tabhrani, dan Hakim yang mengatakan Sahib dari Salamah mengenai ayat 195 Surat al-Imran , Al-Ahzab ayat 35 dan Al Nisa ayat 32 dengan satu sebab yaitu pertanyaan Ummu Salamah.

nuzul15Artinya: ”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik.” (Q.S. Ali ‘Imran ayat 195).

nuzul16Artinya: “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. al-Ahzab ayat 35).nuzul17Artinya: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Q.S. al-Nisa ayat 32)

C. Urgensi Asbab Al-Nuzul bagi Penafsiran Al-Qur’an

Para Ulama sepakat akan pentingnya pengetahuan Asbab al-Nuzul ini dalam menafsirkan al-Qur’an, karena kegunaannya dalam beberapa hal di antaranya adalah sebagai berikut:

  1. Membantu memahami ayat dan menghindarkan dari kesulitaan dalam memahaminya. Hal ini diperkuat oleh pernyataan-pernyataan para ulama di antaranya Al-Wahidi, beliau mmenyatakan bahwa tidak mungkin mengetahui makna suatu ayat tanpa mengetahui kisah dan pejelasan nengenai turunnya ayat dan pendapat ini diperkuat oleh Ibnu Daqiq.
  2. Membantu mengetahui hikmah di balik penetapan hukum syara’, sehingga dapat menambah keimanan.
  3. Dapat menolak dugaan adanya pembatasan terhadap suatu ayat untuk hal-hal tertentu.
  4. Mengkhususkan sebuah hukum pada sebab bagi mereka yang berpendapat al-‘Ibrah bi Umum al-Lafazh.
  5. Mempermudah dalam menghapal wahyu, menguatkannya dalam ingatan orang yang mendengarnya. Karena pertalian antara sebab dan musabbab, hukum dan peristiwa-peristiwa dan pelaku, masa dan tempatnya merupakan faktor-faktor yang menyebabkan mantap dan terlukisnya sesuatu dalam ingatan .(23)

Tidak berlebihan apabila para ulama sangat menekankan pentingnya Asbab al-Nuzul ini agar tidak terjadi kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an , yang hasilnya nanti akan dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-hari.

Oleh sebab itu dalam menafsirkan al-Qur’an para mufassir juga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat dalam berbagi kondisinya. Karena al-Qur’an pada awal turunnya pun sangat memperhatikan kondisi masyarakat Arab, sehingga ujaran-ujaran yang dipergunakan pun disesuaikan dengan kultur yang ada. Hal ini dapat memberikan pemahaman bahwa al-Qur’an dapat didialogkan dan dipahami secara terbuka dengan kondisi sosial yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Quran al-Karim

Abu Syuhbah, Muhammad bin Muhammad, Al-Madkhal li Dirasat Al-Quran al-Karim, Kairo : Maktabah al-Sunnah, 1992

Abdul Rahman al ‘Akh, Ushul al-Tafsir wa Qawa’iduhu, Beirut : Dar al-Nafais, 1986

Abdul Wahab Khalaf, Ilm Ushul al Fiqh, Jakarta: Maktabatr al-Dakwah al-Islamiyah, 1968

Ajaz al-Khatib, Muhammad, Ushul al-Hadits, Wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 1989

Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, Mesir: Dar al-Mishriyah, 1986

Suyuthi, Jalaluddin, Al-Itqon fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt

Wahidi, Ali bin Ahmad ,al-Asbab al-Nuzul, Saudi: Dar al-Ishlah, 1992

Zarkasyi, Muhammad, Al-Burhan Fi Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, tt

Zarqani, Muhammad, Manahil al-Irfan fi Ulum al-Qur’an, Kairo: Dar al-Ihya al Kutub al-Arabiyyah, tt

Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa al-Mufassirun, Beirut: Dar al Fikr , 1976

Mahmud al Thahaan, Taysir al-Mushthalah al-Hadist, Beirut: Dar al-Tsaqofah al-Islamiyah, 1985

Al-Nasaiy, Sunan al-Nasaiy, Riyadh : Dar al-Salam li Nasyir wa Tanjil, 1999


[1] Al-Drahabi,  At-Tafsir wa  Al-Mufassirun, (Beirut :  Dar al-Fikr, 1976), hal. 267

[2] Al-Wahidi,  Asbab Al-Nuzul,  (Saudi  : Dar  al-Ishlah,  1992), hal. 8

[3] Al Suyuthi,  Al-Itqan  fi  Ulum al-Quran (Beirut:  Dar  al-Fikr,  tt ), hal. 29

[4] Ibnu,  Manzhur,  Lisan  al-Arab,  (Mesir:  Dar al Mishriyah , 1986 ), hal. 458

[5] Muhammad al-Zarqany, Manahil Irfan fi ulum al-Qur’an, (Kairo: Dar al-Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, 1988), hal. 103

[6] Muhammad bin Muhammad Abu Syuhbah, al-Madkhal li Dirasati al-Qur’an al-Karim (Kairo: Maktabah al-Sunnah, 1992), hal. 122

[7] Syubhi Salih, 1988, hal. 132

[8] Man’a al-Qathan, 1973, hal. 78

[9] Al-Shabuny, 1970, hal. 22

[10] Al-Suyuthy,

[11] Taufik Adnan Amal

[12] Hadits marfu adalah hadits  yang disandarkan  kepada  Rasul dengan  sanadnya  yang bersambung.  Lihat Mahmud  al  Thaharq  Taysir  Mushthalah al Hadits, (Beirut  :  Dar al Tsaqafah  al Islamiyah l985), hal. 128.

[13] Dalam hadits mursal terdapat sanad yang gugur yaitu  sahabat,  tabiin  tidak  menyebutkan  dari  sahabat mana ia mengambil periwayatan tersebut tetapi langsung menyandarkannya kepada Rasul, berarti sanadnya tidak  bersambung. Lihat  Ajaj al Khatib, Ushul  al hadits Ulumuhu  wa Mustalahuhu,(Beirut:  Dar al Fikr, 1989) hal. 337

[14] Al-Suyuthy

[15] Ibid, hal. 32

[16] Al Zarkasyi,  al Burhan  fi  Ulum  al Quran  Beirut :  Dar al Fikr,  tt, hal. 56

[17] Abdul Rahman  al ‘Ak , Ushul  al Tafsir wa Qawa’iduhu,  (Beirut :  Dar al Nafais, 1986), hal. 78

[18] Ibnu Manzhur, Op. Cit, hal. 458

[19] Abdul Rahman, Op. Cit, hal 402

[20] Ibnu Manzhur, Loc. Cit hal.

[21] Al-zarqany, Manahil  ai ,rfan  fi  Ulum al Quran, (Kairo:  Dar allhya  al Kutub  al Arabiyya,  tt) hal.  121-122

[22] Qiyas adalah  menghubungkan  suatu  perkara yang  tidak  ada nash  hukumnya  kepada perkara  yang  ada

nash  hukumnya karena  adanya  persamaan antara  kedua  perkara  tersebut  dalam  illat  hukumnya”. Lihat  dalam Abdul Wahab  Khalal  Ilmu  Ushul  Fiqh, (Kairo: Maktabah  Dakwah  Islamiyah,  1963), hal. 52

[23] Al Nasaiy,  Sunan Al Nasaiy,  (Riyadh:  Dar al Salam  li Nasln wa al Tanzi, 1999), hal. 583

[24] Ibid, hal 123-124

[25] Al-Suyuthi, hal 33

Dipublikasi di Ilmu-ilmu Al-Quran | Tag , , , , , , , , | 5 Komentar

Israiliyyat Dalam Tafsir

PENDAHULUAN

Al-Qur’an yang menyatakan dirinya sebagai hudan linnas otomatis sarat dengan berbagai macam ajaran. Di antara ajaran-ajarannya tertuang dalam kisah kisah agar manusia mengambil pelajaran, baik yang tersurat maupun yang tersirat dalam ungkapan Al-Qur’an. Kisah-kisah tersebut ada yang berhubungan dengan kehidupan para Nabi dan Rasul dan ada pula yang berhubungan dengan pribadi, pribadi bukan rasul yang diharapkan menjadi teladan bagi umat manusia, seperti Ashabul Kahfi, Luqman dan Dzulqarnain.

Kitab-kitab terdahulu, yakni Taurat dan Injil, juga memuat kisah-kisah seperti Al-Qur’an, namun terdapat perbedaan, baik dari segi pengungkapannya maupun gaya bahasanya.

Pengungkapan Al-Qur’an lebih bersifat global. Artinya, dalam mengungkapkan suatu peristirwa tertentu Al-Qur’an tidak memerinci tempat kejadian, saat kejadian dan nama-nama tokoh yang terlibat serta jalannya peristiwa. Al-Qur’an hanya menyajikan beberapa fragmen yang berkaitan dengan substansi tema yang mengandung pelajaran, sedangkan kitab-kitab yang lain mengungkapkan secara panjang lebar dan menjelaskan rincian serta bagian-bagiannya. Hal ini membuka peluang masuknya kisah-kisah yang bersumber dari tradisi Yahudi maupun Nasrani ke dalam khazanah Islam, baik dalam penafsiran Al-Qur’an maupun hadits. Berangkat dari hal tersebut penulis akan mencoba menulis apa yang dimaksud dengan israiliyyat itu? apa latar belakang historis tumbuhnya Israiliyyat dan apa kategori Israiliyyat? apa dampak Israiliyat terhadap kesucian ajaran lslam dan bagaimana pandangan ulama tentang hal tersebut?

A. PENGERTIAN ISRAILIYYAT

Israiliyyat secara etimologis adalah bentuk jamak dari kata Israiliyyah; Isim (kata benda) yang dinisbatkan pada kata Israil, dari bahasa lbrani yang berarti hamba Tuhan.[1] Dalam pengertian lain israiliyyat dinisbatkan pada nabi Ya’kub, bin Ishaq bin Ibrahim. Sedangkan istilah Yahudi adalah sebutan bagi Bani Israil.[2] Hal ini sesuai dengan hadis riwayat Abu Daud dan Ibnu Abbas: “Sekelompok orang Yahudi telah mendatangi Nabi, lalu beliau bertanya kepada mereka‘, “Tahukah kamu sekalian bahwa sesungguhnya Israil itu adalah nabi ya’kub? ” Lalu mereka menjawab, “Betul” Kemudian Nabi berdoa, “wahai Tuhanku, saksikanlah pengakuan mereka ini.[3]

Sedangkan dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

israiliyat1

Artinya: “Semua makanan adalah halal bagi Bani Israil melainkan makanan yang diharamkan oleh Israil (Ya’qub) untuk dirinya sendiri sebelum Taurat diturunkan “.

Dari segi terminologi, kata Israiliyyat, walaupun pada mulanya hanyalah menunjukkan riwayat yang bersumber dari kaun Yahudi namun pada akhimya para ulama ahli tafsir dan ahli hadis menggunakan istilah tersebut dalam arti yang lebih luas lagi. Israliyyat adalah seluruh riwayat yang bersumber dari orang Yahudi dan Nasrani serta selain dari keduanya yang masuk dalam tafsir maupun hadis. Ada pula ulama tafsir dan hadis yang memberi makna israiliyyat sebagai cerita yang bersumber dari musuh-musuh Islam, baik Yahudi, Nasrani ataupun lainnya.[4]

Muhammad Husain AdzDzahabi, misalnya, membagi Israiliyyat ke dalam dua macam . Pertama, Israiliyat sebagai kisah dan dongeng kuno yang menyusup ke dalam tafsir dan hadis yang asal periwayatannya kembali pada sumber Nasrani, Yahudi atau yang lainnya. Kedua, Kisah dan dongeng yang sengaja diselundupkan oleh musuh-musuh Islam ke dalam tafsir dan hadis yang sama sekali tidak dijumpai dasarnya dalam sumber lama. Kisah itu sengaja diselundupkan dengan tujuan merusak aqidah kaum Muslimin.[5]

Ahmad Khalil menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Israiliyyat adalah kisah-kisah yang diriwayatkan dari Ahli Kitab, baik yang ada hubungannya dengan agama mereka ataupun tidak.[6]

Amin Al Khuli berpendapat bahwa Israiliyyat merupakan pembauran kisah-kisah dari agama dan kepercayaan bukan Islam yang merembes masuk ke Jazirah Arab Islam. Kisah-kisah tersebut dibawa oleh orang-orang Yahudi yang sejak dulu berkelana ke arah Timur menuju Babilonia dan sekitamya, sedangkan ke arah Barat menuju Mesir. Setelah mereka kembali ke negera asal, mereka membawa bermacam-macam berita keagamaan yang mereka jumpai dari negera negera yang mereka singgahi.[7]

B. LATAR BELAKANG HISTORIS TUMBUHNYA ISRAILIYYAT

Sebelum Islam datang, ada satu golongan yang disebut dengan kaun Yahudi, yaitu sekelompok kaum yang dikenal mempunyai peradaban yang tinggi dibanding dengan bangsa Arab pada waktu itu. Mereka telah membawa pengetahuan keagamaan berupa cerita-cerita keagamaan dari kitab suci mereka.[8]

Pada waktu itu mereka hidup dalam keadaan tertindas. Banyak di antara mereka yang lari dan pindah ke Jazirah Arab. Ini terjadi kurang lebih pada tahtm 70 M. Pada masa inilah diperkirakan teradinya perkembangan besar-besaran kisah-kisah Israiliyyat, kemudian mengalami kemajuan pada taraf tertentu. Disadari atau tidak, terjadilah proses percampuran antara tradisi bangsa Arab dengan khazanah tradisi Yahudi tersebut.[9] Dengan kata lain, adanya kisah Israiliyat merupakan konsekuensi logis dari proses akulturasi budaya dan ilmu pengetahuan antara bangsa Arab Jahiliyah dan kaum Yahudi serta Nasrani.[10]

Pendapat lain menyatakan bahwa timbulnya Israiliyyat adalah, pertama, karena semakin banyaknya orang-orang Yahudi yang masuk lslam. Sebelumnya mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Tatkala masuk Islam mereka tidak melepaskan seluruh ajaran-ajaran yang mereka anut terlebih dulu, sehingga dalam pemahamannya sering kali tercampur antara ajaran yang mereka anut terdahulu dengan ajaran Islam.

Kedua, adanya keinginan dari kaum Muslim pada waktu itu untuk mengetahui sepenuhnya tentang seluk-beluk bangsa Yahudi yang berperadaban tinggi, di mana Al-Qur’an hanya mengungkapkan secara sepintas saja. Dengan ini maka muncullah kelompok muffasir yang berusaha meraih kesempatan itu dengan memasukkan kisah-kisah yang bersumber dari orang-orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Akibatnya tafsir itu penuh dengan kesimpang-siuran, bahkan terkadang mendekati khurafat dan takhayul.[11]

Ketiga, adanya ulama Yahudi yang masuk Islam, seperti Abdullah bin Salam, Ka’ab bin Akhbar, Wahab bin Manabbih. Mereka dipandang mempunyai andil besar terhadap tersebarnya kisah Israiliyyat pada kalangan Muslim.[12] Hal ini dipandang sebagai indikasi bahwa kisah Israiliyyat masuk ke dalam Islam sejak masa sahabat dan membawa pengaruh besar terhadap kegiatan penafsiran Al-Qur’an pada masa-masa sesudahnya.

Kisah Israiliyat semakin berkembang subur di kalangan Islam ketika masa tabi’in dan mencapai puncaknya pada masa tabi’it-tabi’in. Pada masa tabi’in timbul kecintaan yang luar biasa pada kisah Israiliyyat. Mereka cenderung mengambil cerita tersebut secara ceroboh, sehingga setiap cerita yang ada hampir tidak ada yang ditolak. Mereka tidak mengembalikan cerita tersebut pada Al-Qur’an, walaupun terkadang tidak dimengerti akal.[13]

C. KATEGORI ISRAILIYYAT

Dari segi kandungannya, secara garis besar kisah Israliyyat terbagi menjadi tiga kategori:

Pertama, kisah Israiliyyat yang benar isinya, sesuai dengan al-Qur’an dan hadis dan tidak bertentangan dengan keduanya. Contoh kriteria yang pertama, yakni yang sesuai dengan syariat kita, adalah apayarg diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, dengan redaksi dari Imam Bukhari, ia berkata: “Telah menceritakan kepada ami Yahya bin Bukhair, dari Lais, dari Khalid, dari Sa’id bin Abu Hilal, dari Zaidbin Aslam, dari ‘Ata’ bin Yasir, dari Abu Sa’id al-Khudri, ia berkata, bahwa Rasulullah telah bersabda: “Adalah bumi itu pada hari nanti seperti segenggam roti. Allah memegangnya dengan kekuasaan-Nya sebagaimana seseorang menggenggam sebuah roti di perjalanan. Ia merupakan tempat bagi ahli surga. Kemudian datanglah seorang laki-laki dari Yahudi, dan berkata: Semoga Allah mengagungkan engkau wahai Abal Qasim, tidaklah aku ingin menceritakan kepadamu tempat ahli swga pada hari kiamat nanti? Rasul menjawab, ya tentu. Kemudian laki-laki tadi menyatakan bahwasa,nya bumi ini seperti segenggam roti sebagaimana dinyatakan Nabi, kemudian Rasul melihat kepada kami semua, lalu tertawa sampai terlihat geraham giginya.”[14]

Kedua, kisah Israiliyyat yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Ini harus driauhi dan tidak boleh diriwayatkan kecuali di sertai dengan penjelasan mengenai kedustaannya. Contoh cerita Israiliyyat knteria kedua, yakm yang bertentangan dengan syariat kita, keterangan yang telah kita ketahui terdahulu dalam Kitab Safarul-Khurzg bahwasannya Harun a.s. adalah Nabi yang membuat anak sapi untuk Bani Israil, Ialu ia mengajak mereka untuk menyembahnya. Demikian pula riwayat yang telah kita dapati dari Kitab Safarut-Tala,vin, bahwasanya Allah menyelesaikan seiuruh pekerjaan-Nya pada hari yang ketujuh, Ialu beristirahatlah pada hari yang ketujuh tersebut. Demikian pula apa yang diriwayatican oleh Ibn Jarir di dalam Tafsir-nya, ketika menerangkan firman Allah dalam Qur’an surah Shad ayat 34:

israiliyat2

Artinya: “Dan Sesungguhnya kami Telah menguji Sulaiman dan kami jadikan (dia) tergeletak di atas kursinya sebagai tubuh (yang lemah Karena sakit), Kemudian ia bertaubat.”

Yaitu tentang kisah setan yang datang dan duduk di singgasana Nabi sulaiman dan menguasai singgasana tersebut, tidak ada orang yang mengetahuinya kecuali Nabi Sulaiman. Dan setan tersebut, menurut riwayat Ibn Jarir, dari Abu Hatim, menguasai istri-istri Nabi sulaiman, ia menggauli mereka yang sedang haid, akan tetapi mereka tidak menyadari bahwa yang datang itu bukan Nabi Sulaiman.

Ketiga, kisah Israiliyyat yang tidak diketahui benar atau tidaknya. Yang demikian ini tidak perlu diyakini atau didustakan keberadaannya, sesuai dengan hadis Nabi dari Abu Hurairah:

israiliyat3

Artinya: JanganLah kamu sekaliaan membenarkan Ahli Kitab dan jangan pula mendustakanrrya; ucapkanlah, “Kami beriman kepada Allah dan kepada kitab yang diturunkan kepada kamu.

Contoh cerita Israiliyyat kriteria ketiga, yakni yang didiamkan oleh syariat kita, dalam arti tidak ada yang memperkuat ataupun menolaknya, seperti yang diriwayatkan oleh Ibn Kasir dari Su’udi di dalam Tafsirqra ketika menerangkan ayat-ayat tentang sapi betina, sebagaimana dinyatakan di dalam Qur’an surah al Baqarah (2):67 -7 4. Keterangannya adalah:

“Seorang laki-laki dari Bani Israil, memiliki harta yang banyak dan memiliki seorang anak wanita. la mempunyai pula seorang anak laki-laki dari saudara laki-lakinya yang miskin. Kemudian anak laki-laki tersebut melamar anak perempuan itu. Akan tetapi saudara laki-laki tersebut enggan menerimanya dan akibatnya, pemuda tadi menjadi marah, dan ia berkata: Demi Allah akan kubunuh pamanku itu, akan kuambil hartanya, akan kunikahi anak perempuannya dan akan kumakan diyatnya. Kemudian pemuda tadi datang kepada pamannya, bertepatan dengan datangnya sebagian pedagang Bani Israil. la berkata kepada pamannya: Wahai pamanku, berjalanlah bersamaku, aku akan minta pertolongan kepada para pedagang Bani Israil, mudah-mudahan aku berhasil, dan jika mereka melihat engkau bersamaku pasti akan memberinya. Kemudian keluarlah pemuda itu beserta pamannya pada suatu malam, dan ketika mereka sampai di suatu Eeng, maka si pemuda tadi membunuh pamannya, kemr”rdian ia kembali kepada keluarganya. Ketika datang waktu pagi, seolah-olah ia mencari pamannya, dan seolah-olah ia tidak mengetahui di mana pamannya itu berada, dan berkata: Kalian membunuh pamanku, bayarlah diyatnya.’Kemudian ia menangis sambil melempar-lempar tanah ke atas kepalanya dan berteriak: Wahai paman! Lalu ia melaporkan persoalannya kepada Nabi Musq dan Nabi Musa menetapkan diyat bagi pedagang tersebut. Mereka berkata kepada Musa: Wahai Rasulullah, berdoalah engkau kepada Tuhan, mudah-mudahan Tuhan memberi petunjuli kepada kita, siapa yang melakukan hal ini, nanti keputusan diberikan kepada pelaku. Demi Allah, sesungguhnya membayar diyat itu bagi kami adalah sangat mudah, akan tetapi kami sangat malu dengan perbuatan tersebut.” Peristiwa tersebut dinyatakan Allah dalam Qur’an surah al-Baqarah ayat 72:

israiliyat4

Artinya: Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia lalu kamu saling tuduh menuduh tentang itu. dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama Ini kamu sembunyikan.[15]

D. DAMPAK ISRAILIYYAT TERHADAP KESUCIAN AJARAN ISLAM

Menurut Adz-Dzahabi, jika Israiliyat itu masuk dalam khazanah. tafsir Al-Qur’an, ia dapat menimbulkan dampak negatif sebagai berikut. Pertama, Israiliyyat akan merusak aqidah kaum Muslimin, karena ia antara lain mengandung unsur penyerupaan pada Allah, peniadaan ‘ishmalz para Nabi dan Rasul dari dosa, karena mengandung tuduhan perbuatan buruk yang tidak pantas bagi orang adil, apalagi sebagai Nabi. Kedua, merusak citra agama lslam karena ia mengandung gambaran seolah-olah. Islam agama penuh dengan khurafat dan kebohongan yang tidak ada sumbemya. Ketiga, ia menghilangkan kepercayaan pada ulama salaf; baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in . Keempat, ia dapat memalingkan manusia dari maksud dan tujuan yang terkandung dalam ayat-ayat Al-Qur’an.[16]

E. PENDAPAT ULAMA TENTANG ISRAILIYYAT

Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Muqaddimah fi LIslulut-Tafsir Israiliyat itu tiga macam.  pertama, cerita Israiliyat yang shahih, itu boleh diterima. Kedua, Israiliyat yang dusta yang kita ketahui kedustaannya karena bertentangari dengan syari’at, itu harus ditolak. Ketiga, Israiliyyat yang tidak diketahui kebenaran dan kepalsuannya. Itu didiamkan; tidak didustakan dan tidak juga dibenarkan. Jangan mengimaninya dan jangan pula membohongkannya.

Al Biqa’i dalam Al Aqwal Al Qawimah fil hukmi ‘anin naqli menyatakan bahwa hukum menukil riwayat dari ani Israil yang tidak dibenarkan dan tidak didustakan oleh kitab kita adalah boleh, demikian pula dari pemeluk agama lain, karena tujuannya hanyalah ingin mengetahui semata, bukan untuk dijadikan pegangan.”[17]

Muhammad Abduh sangat berhati -hati dalam menerima pendapatpendapat sahabat, apalagi jika pendapat tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Bahkan, lebih jauh dari itu, Abduh tidak menolak pendapat yang terkadang ditolak oleh ulama lain walaupun dirasakan dari pendapat tersebut adanya semacam unsur Israiliyyat.[18] Salah contoh penjelasan Abduh tentang Firman Allah SWT:

israiliyat5

“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Ai Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.”

Abduh manyatakan bahwa israiliyat6  (yang memiliki ihnu dari Alkitab ), namanya adalah’Ashif.

Pendapat Jumhur ulama tentang Israiliyyat, pertama, mereka dapat menerima Israiliyyat selama tidak be*entangan dengan Al-Qur’an dan hadis. Keclua, mereka tidak .menerima selagi kisah israiliyyat tersebut bertentangan dengan A1 Qur’an dan. hadis. Ketiga, tarvaqquf atau mendiamkan. Mereka tidak menolak dan tidak membenarkannya, berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah tersebut.

PENUTUP

Dari uraian terdahulu dapat ditarik kesimpulan, pertama, kisah Israiliyyat adalah kisah-kisah yang sebagian besar bersumber dari orang-orang Yahudi, baik diydan atau tidak, yang telah menyusup ke dalam khazanah tafsir Al-Qur’an dan hadis Nabi.

Kedua, latar betakang timbulnya Israiliyyat adalah semakin banyaknya orang-orang Yahudi atau Ahli Kitab yang masuk Islam; adanya keinginan sebagian dari kaum Muslimin untuk mengetahui ihwal orang-orang Yahudi yang mempunyai peradaban tinggi dibanding kaum Muslim di Jazirah Arab pada waktu itu.

Ketiga, Israiliyat mempunyai dampak negatif terhadap penafsiran Al-Qur’an. ia dapat merusak citra agama Islam, merusak aqidah Muslim dan memalingkan kaum Muslimin dari ajaran Al-Qur’an dansunnah shshihah.


[1] Muhammad  Husaini  Al-Khallaf , Al-Yahudiyah  bainal Masihiyah wal  Islam  (Mesir: Al-Mu’assasah Al-Mishriyah,  1962), hal.1 4

[2] Muhammad  Husain AdzDzahabi,  Israil$ahfit  Tafsir  wal Hodits (Kairo  :Mujamma’ul  Buhus Al-Islamiyah),  hal. l9

[3] Abu Dawud  Ath  Thayalitsi”  Sunan  Abu Dawud , Jilid  IV  (Beirut  :  Darul Fikr,t.th) hal.40.

[4] Muhammad Husain Al-Dzahabi,  Israiliyah  dalam Tafsir  dan  Hadits,  terjemah  Didin Hafidzuddin  (Jakarta: Litera  Antar  Nusa,1993), hal. 9

[5] Muhammad Husaini al-Khallaf,  op. cit., hal. 20

[6] Ahmad  Khalil  Arsyad, Dirasah fi  AI-Qur’an,  (Mesir:  Darul Ma’arif, 1972), hal. 115.

[7] . M. Quraish Shihab, Membumikan  AI-Qur’an (Bandung:  Mizan,  1995), hal. 46.

[8] Manna’  Khalil Al Qathan,  Studi  llmu-ilmu  Al-Qur’an, terjemah  Mudzakir  AS , (Jakarta:  Litera Antar  Nusa, 1996), hal. 42

[9] Amin Al-Khuli,  Manhaj al- Tajdid fi al-Tafsir, (Kairo :  Darul  Ma’arif, 196l), hal. 227.

[10] M.Quraish  Shihab,  op.cit., hal. 46

[11] Ahmad Khalil Arsyad, op.cit., hal. 62.

[12] lgnaz Goldziher,  Madzahib  At Tafsir  At  Istaml  (Kairo:  As Sunnah  Al Muhammadiyah  ,  1995), hal.  113.

[13] Muhammad Husain  Adz  Dzahabi,  op.citt., hal. 20

[14] Sahih  Bukhari,  bab. Hamba  Sahaya, pasal: Allah akan mengangkat bumi, Jilid 8, hal. 108, cetakan  Khairiyah.

[15] Tafsir  Ibn  Kasir,  jilid  I  hal. 109,  cetakan  Tijariyah.

[16] Muhammad Husain  Adz  Dzahabi,  op.cit.,h.  26-32.

[17] Ahmad  Syadalidan  Ahmad  Rofi’f,Ulumul  Qur’ar,. Cetakan  f., 1gg4,hal. 54-55

[18] M.Quraish  Shihab,  Studi ,Kritis  Tafsir Al-Manar,,  cetakan f, wg4, hal.  54-55

Dipublikasi di Ilmu-ilmu Al-Quran | Tag , , , , , , | Meninggalkan komentar