PENDAHULUAN
Hadits, Sunnah, Khabar dan Atsar merupakan serentetan istilah yang sudah lama hidup dan tidak dapat dipisahkan dari tengah-tengah kaum muslimin. Pada umumnya istilah-istilah tersebut pasca Islam berkenaan dengan pembicaraan sumber ajaran Islam selain al-Qur’an terutama dengan hal-hal yang muncul dari pribadi Nabi Muhammad, baik secara langsung atau tidak, dalam berbagai dimensi dan visi.
Sekalipun semua istilah di atas dapat dipastikan mengarah kepada titik sentral tentang segala sesuatu yang bersangkut paut dengan sumber ajaran Islam kedua menurut ahli hukum Islam, tetapi pada kenyataannya muncul titik-titik perbedaan di kalangan para pakar dalam memahami setiap pengertian istilah tersebut. Sedikitnya ada tiga pendapat pakar yang menyoroti makna dari setiap istilah itu, yaitu: (1) para pakar ilmu hadits (muhadditsin), (2) para pakar metodologi hukum Islam (ushuliyyin), dan (3) para pakar hukum Islam (fuqoha).
Munculnya silang pendapat di atas merupakan fenomena yang wajar terjadi, sebab secara harfiah, perbedaan atau adanya beberapa sebutan hadits, sunnah, khabar atau atsar, pada prinsipnya sudah mencerminkan segi-segi perbedaan sekecil apapun, lebih-lebih bila dipakai dalam dataran atau perspektif disiplin ilmu yang berbeda.
Sehubungan dengan hal di atas, maka istilah-istilah itu perlu dipahami lebih jauh agar proporsi dari masing-masing istilah nampak jelas, baik dari segi ontologinya, epistemologi maupun aksiologinya.
Melalui kajian ontologi diharapkan dapat diketahui hakikat dan struktur dari istilah hadits, sunnah, khabar atau atsar. Dengan kajian epistemologi dimaksudkan untuk mengetahui objek kajian, cara-caranya dan ukuran validitasnya. Sedangkan kajian aksiologi diarahkan untuk mengetahui nilai manfaat atau kegunaan dari hadits, sunnah, khabar atau atsar.
PEMBAHASAN
A. Kajian Ontologi
Kerja utama dari ontologi adalah mempertanyakan hakikat dan struktur dari istilah hadits, sunnah, khabar dan atsar. Dalam hal ini diperlukan dua model kajian: (1) etimologi atau harfiah, dan (2) terminologi atau istilahi.
Dari sisi etimologi kata “hadits” tidak sama dengan kata “sunnah” atau “khabar” atau “atsar” dan begitu pula sebaliknya. Secara leksikal kata “hadits” dapat diartikan sebagai sesuatu yang baru (al-Jadid), atau sesuatu yang dipercakapkan dan dipindahkan dari seseorang kepada orang lain (al-khabar).[1] Hadits diartikan sebagai suatu berita ini dapat dicermati dalam surat al-Thur ayat 34, surat al-Kahfi ayat 6 dan surat al-Dhuha ayat 11.
Sementara itu kata “sunnah dipahami dalam pengertian sebagai kebiasaan yang baik atau yang jelek.[2] Atau sebagai perilaku (sirah), baik yang terpuji maupun tercela.[3] Pengertian sunnah semacam ini dapat dipahami dari kandungan hadits berikut:[4]
من سن في الإسلام سنة حسنة فله أجرها وأجر من عمل بها من غير ان ينقص من أجورهم شيئ ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده من غير أن ينقص من أوزارهم شيئ
Sedangkan kata “khabar” secara leksikal dipahami sebagai sesuatu yang ditranmisi dan diceritakan atau dikabarkan.[5] Yakni segala berita yang disampaikan kepada orang lain. Adapun kata “atsar” sama dengan “suatu bekas” yang disampaikan oleh suatu generasi kepada generasi lain.[6]
Dari pendekatan kebahasaan atau leksikal tersebut dapat diketahui kata “hadits dan khabar” lebih berorientasi pada aspek ucapan atau perkataan. Sedangkan kata “sunnah dan atsar” lebih berorientasi pada aspek perbuatan. Karena itu, kata “hadits dan khabar” pada kenyataannya lebih banyak digunakan oleh ulama ahli hadits, terutama dalam konteks periwayatan hadits, misalnya حدثنا atau أخبرنا . Berbeda dengan kata “sunnah atau atsar” yang lebih banyak digunakan oleh ulama metodologi hukum (Ushuliyyin) atau ulama hukum (fukoha), karena aspek-aspek perbuatan merupakan obyek materi dalam penilaian hukum.
Selanjutnya timbul pertanyaan kenapa Muhadditsin lebih memilih kata-kata hadits atau akhbar?
Keterangan Abu al-Baqa[7] dapat dijadikan rujukan dalam menjawab masalah di atas. Menurutnya, kata al-Hadits merupakan kata bentukan dari tahdits yang sinonim dengan kata ikhbar. Selanjutnya kata hadits (termasuk ikhbar atau khabar) dijadikan sebagai sebatas untuk pernyataan atas perbuatan atau persetujuan/sikap yang dikaitkan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, sebenarnya kata-kata hadits atau khabar sebelum Islam datang sudah sama-sama dipakai di dalam masyarakat ketika merekam dan menginformasikan kejadian-kejadian harian yang fenomenal (Ayyamihim al-Masyhurah).[8]
Sebab lain dari kata hadits menjadi pilihan adalah untuk membedakannya dari al-Qur’an yang bersifat Qodim bila hadits dipahami sebagai sesuatu yang baru lahir setelah al-Quran.[9]
Pemahaman hadits, khabar, sunnah dan atsar secara kebahasaan itu pada gilirannya berimbas pula pada pendefinisiannya (terminologi atau istilah) sesuai dengan pandangan setiap disiplin ilmu yang dilatarbelakangi oleh persepsi dari sdut pandang masing-masing ulama terhadap diri Rasulullah SAW yang terformulasikan dalam bentuk rumusan istilah pada garis besarnya mereka terklasifikasikan menjadi tiga golongan; ahli hadits, ahli ushul, dan ahli fiqih.
Para ahli hadits (muhadditsin) pada umumnya mendefinisikan hadits, sunnah, khabar, bahkan atsar dalam pengertian yang sama untuk segala sesuatu yang bersumber dan berkenaan dengan diri Nabi SAW. Sebagai figur Uswah Hasanah, baik pada aspek perkataan, perbuatan, pengakuan (taqriri), harapan, (hammi), hal ihwal dan lainnya tanpa membedakan hukum syar’i dengan lainnya, atau tanpa memisahkan antara sebelum diutus menjadi Rasul atau sesudahnya.[10]
Lain halnya dengan ahli metodologi hukum Islam (Ushuliyyin) yang menempatan pengertian hadits secara spesifik kepada pernyataan-pernyataan Nabi saja dan merpakan bagian dari sunnah (sunnah Qauliyah). Mereka membatasi pengertian sunnah pada konteks hukum syar’i, yakni segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW yang berkaitan dengan hukum syara’ baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir.[11] Dengan demikian, tidak termasuk bagian dari sunnah hal-hal seperti sifat, perilaku, sejarah hidup dan yang lainnya yang tidak berkenaan dengan hukum syara.[12]
Pemahaman ushuliyyin terhadap sunnah tersebut lebih menyoroti pribadi Nabi SAW sebagai pembawa dan pengatur undang-undang dan pencipta kerangka dasar bagi para mujtahid yang hidup sesudahnya.
Pada pihak lain, ahli fiqh (fuqoha) memahami sunnah dalam bingkai rambu-rambu hukum, yakni sebagai salah satu hukum yang lima (wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah), dengan konsekuensi hukum akan mendapat pahala bila dikerjakan atau selamat dari siksa bila ditinggalkan.[13] Dengan kata lain, sunnah adalah sesuatu yang bukan fardu atau wajib.[14]
Pengertian sunnah dari ahli fiqih seperti di atas nampaknya lebih melihat pribadi Nabi SAW pada perbuatan-perbuatan yang melandasi hukum syara’ yang selanjutnya akan diterapkan untuk perbuatan-perbuatan manusia pada umumnya yang diatur oleh rambu-rambu hukum.[15]
Berdasarkan uraian di atas nampak jelas bahwa istilah hadits sangat kental dan umum di kalangan ahli hadits. Sedangkan istilah sunnah lebih kentara di kalangan ahli ushul dan ahli fiqh. Kedua istilah tersebut pada perkembangan selanjutnya menjadi istilah sentral dan hampir universal di seluruh negeri muslim, yang umumnya ditujukan kepada segala sesuatu yang datang atau berkenaan dengan Nabi bahkan dipergunakan pula kepada para sahabat Nabi. Tetapi pada daerah-daerah tertentu seperti Khurasan untuk hadits Nabi digunakan istilah khabar, dan untuk keterangan dari sahabat dan tabi’in digunakan istilah atsar.[16]
Apabila telah diketahui hakikat hadits, sunnah dan khabar lebih tertuju kepada Nabi SAW sebagai figur sentralnya, maka pertanyaan yang timbul adalah bagaimana struktur dan bentuk dari suatu hadits.
Ketika Nabi berkata atau berbuat atau menyikapi suatu tindakan, tidak bisa lepas dari lingkungan yang mengintarinya, baik lingkungan manusia maupun alam sekitarnya, langsung atau tidak langsung, menjadi saksi apa yang terjadi. Karena itu struktur suatu hadits terdiri dari sanad, rawi dan matan.
Sanad, secara terminologis dapat diartikan sebagai silsilah orang yang meriwayatkan hadits dan menyampaikannya kepada materi (matan) hadits.[17] Sedangkan rawi adalah orang yang meriwayatkan atau memberitakan hadits.[18] Dari pengertian ini nampak jelas bahwa antara sanad atau rawi merupakan dua istilah yang tidak dapat dipisahkan walau dapat dibedakan. Sanad-sanad hadits pada tiap-tiap angkatan (thabaqah) pada dasarnya disebut juga rawi, tetapi pada pengertian praktis, rawi adalah orang yang menerima hadits dan kemudian menghimpunya dalam suatu kitab.
Adapun yang disebut matan hadits adalah materi atau lafadz hadits itu sendiri.[19]
Di samping struktur, maka hadits pun mempunyai bentuk. Kalangan muhadditsin mengklasifikasikan hadits ke dalam beberapa bentuk, yaitu qauliyah, fi’liyyah, taqririyah, sifatiyah, khaoliyah atau khuluqiyyah, sirah, dan hammiyyah.[20] Sedangkan ulama lainnya, pada prinsipnya tidak menolak bentuk-bentuk hadits yang dikemukakan muhadditsin, tetapi hadits diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk (qauliyyah, fi’liyyah dan taqririyah), lebih banyak dikenal di kalangan ahli fiqih. Dengan demikian, istilah hadits di satu pihak dapat diposisikan sebagai istilah kumulatif atau alternatif di lain pihak. Istilah ini sangat menarik bagi ahli ushul untuk menilai kekuatan setiap bentuk hadits sebagai argumen hukum berbuat.
B. Kajian Epistemologi
Yang menjadi tema sentral dari kajian epistemologi hadits adalah berusaha mengungkap objek, cara mengetahui dan ukuran kebenaran suatu hadits.
Sebagaimana telah diketahui bahwa objek utama dari suatu hadits adalah pribadi Nabi dengan segala hal ihwalnya. Tetapi karena Nabi tidak sendirian di dalam kehidupannya, terutama dari orang-orang yang selalu merekam seluruh aktivitasnya, maka pribadi-pribadi lain seperi sahabat dan tabi’in, tidak lepas pula sebagai obyek kajian suatu hadits. Dari sinilah muncul istilah hadits marfu yang bersumber langsung kepada Nabi, hadits mauquf dari sahabat dan hadits maqthu dari tabi’in.
Sedangkan cara untuk mengetahui suatu hadits sangat bergantung kepada situasi dan keadaan setiap generasi. Cara-cara yang ditempuh dan dialami generasi sahabat, tidak mungki sama persis dengan yang dialami generasi tabi’in, dan begitu pula oleh generasi selanjutnya.
Walaupun demikian, para sahabat mengetahui hadits Nabi, paling tidak melalui dua saluran. Pertama, melalui al-Qur’an. Kedua, kesaksian dan periwayatan di antara mereka.
Turunnya al-Qur’an kepada Nabi dan disampaikan kepada umatnya secara filosofi menunjukkan bahwa segala sesuatu selain al-Qur’an dan datang dari Nabi dapat dikalim sebagai hadits atau istilah lain yang ditujukan kepada Nabi. Apalagi kalau dijelaskan secara eksplisit oleh al-Qur’an ada pengakuan Nabi bahwa itu sebagai hadits.
Cara lain yang dialami para sahabat dalam mengetahui suatu hadits adalah melali kesaksian langsung atau tidak langsung melalui periwayatan, seperti menghadiri langsung tempat pertemuan (majlis) Rasul, melalui peristiwa-peristiwa yang menimpa Rasul lalu dijelaskan duduk permasalahannya atau peristiwa yang menimpa kaum muslimin lalu ditanyakan pemecahannya atau segala kejadian dari Rasul yang disaksikan para sahabat.[21]
Keterangan lain menegaskan bahwa para sahabat mengetahui dan memperoleh hadits melalui beberapa cara: musyafahah (dialog), musyahadah (menyaksikan) terhadap segala perbuatan dan taqrir Nabi, dan sima’ (mendengarkan) dari orang yang pernah mendengar langsung dan menyaksikan Nabi.[22] Kemudian setelah segala sesuatu dari Nabi diperoleh maka diabadikannya dalam bentuk hapalan dan termasuk pula dalam catatan sederhana.
Pada generasi selanjutnya sampai kepada masa-masa berakhirnya pembukuan hadits (tadwin), cara-cara mengetahui hadits terus berkembang dan variatif sehingga dikenal cara-cara berikut: al-Sima’, al-Qira’ah, al-Ijazah, al-Munawalah, al-Mukatabah, ‘Ilam al-Syaikh, al-Washiyah dan al-Wijadah.[23]
Sesudah hadits terhimpun dalam berbagai kitab hadits baik yang standar maupun kitab pendukung, maka kitab-kitab tersebut menjadi alternatif terakhir dalam mengetahui hadits dengan alat bantu ‘Ulum al-Hadits, baik al-Riwayah maupun al-Dirayah.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka secara global, hadts-hadits Nabi dapat diketahui dan ditelusuri melalui dua pendekatan: pendekatan naqliyah dan pendekatan ilmiah.
Apabila suatu hadits telah diketahui keberadaannya, maka persoalan selanjutnya adalah mempertanyakan kebenaran hadits itu sendiri.
Kebenaran suat hadits dapat diukur dari sudut: (1) sumber datangnya, apakah benar-benar dari Nabi atau bukan? Maka untuk mengukur kebenaran sumber datangnya suatu hadits dapat ditempuh melalui analisis sanad. Analisis sanad ini sangat penting bagi eksistensi suatu hadits yang secara eksplisit ditegaskan al-Qur’an (Q.S. 53:3-4 dan 59:7) memiliki kebenaran otoritatif berupa wahyu Allah. Apabila kebenaran ini telah dapat diukur, maka pada gilirannya hadits akan memiliki kebenaran kualitatif (hadits shahih, hasan, atau dlo’if) dan kebenaran kuatitatif (hadits mutawatir, ahad, masyhur, aziz dan gharib), dan (2) sudut materi kandungan (matan) hadits. Untk mengukur benar tidaknya isi kandungan hadits dapat dilihat dari peran dan fungsi hadits terhadap al-Qur’an, dan juga dapat dianalisis menurut pertimbangan akal sehat. Apabila materi suatu hadits sudah dapat diukur kebenarannya, maka ia secara materi akan memiliki kebenaran mutlak (universal), kebenaran relatif (lokal) bahkan kebenaran-kebenaran lainnya yang dikenal manusia sesuai dengan tolak ukur dan pisau analisisnya.
Sampai saat sekarang, kebenaran suatu hadits didekati dari analisis sanad dan analisis matan masih dipandang cukup akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil penelitian beberapa ahli, termasuk M. Syuhudi Ismail.[24] Alat ukur kebenaran seperti ini tentunya merupakan hasil perkembangan dari alat ukur yang pernah dialami para sahabat Nabi yang berkisar pada pengakuan, kesaksian atau sumpah dan pembuktian berupa catatan-catatan tentang peristiwa yang terjadi pada zaman Nabi dan sahabat.
C. Aksiologi
Pembahasan utama dari aksiologi adalah menjelaskan kegunaan obyek yang dibahas. Dengan kata lain, pembahasan ini diarahkan untuk mengetahui fungsi dari hadits.
Apabila dilihat dari apa adanya, maka hadits memiliki multi fungsi. Misalnya sebagai sumber ajaran, sumber hukum, sumber pengetahuan, sumber kebenaran dan yang lainnya sesuai dengan orang yang melihat segi-segi yang menjadi pusat perhatiannya.
Akan tetapi bila dilihat dari keberadaan dan kelahirannya dihadapan al-Qur’an (Q.S. 16:44), bahkan menurut sebagian ulama, berfungsi pula sebagai penetap kebijakan tersendiri, yang melengkapi kesempurnaan al-Qur’an. Berdasarkan beberapa bukti, yang terakhir ini ditolak oleh sebagian ulama lainnya yang tetap secara tegas menetapkan hadits sebagai bayan saja terhadap al-Qur’an, sebagaimana disampaikan oleh penyusun kitab al-Hadits wa al-Muhadditsin.[25] Alasannya: pertama, tidak sejalan dengan metode al-Qur’an; metode globalitas (mujmal). Apabila al-Qur’an memiliki metode ini, maka hadits tidak bisa lepas dari fungsi utamanya sebagai “penjelas” (bayan), baik dengan cara menghubungkan (ilhaq) hukum suatu kasus terhadap salah satu alternatif. Umpanya, menghubungkan setiap binatang yang bertaring atas burung yang berparuh kepada prinsip al-Khaba’is (hal-hal yang tidak baik) dan binatang biawak, kelinci serta lainnya kepada prinsip al-Thayyibat (hal-hal yang baik), atau dengan cara qiyas atau dengan cara menggali (istinbat) kaidah-kaidah umum dari kasus per kasus, mirip dengan metode istiqra.
Kedua, apabila as-Sunnah Nabi atau hadits diakui membentuk hukum tersendiri, maka akan melahirkan asumsi adanya tuntutan keta’atan khusus kepada Nabi, dan tentunya bertentangan dengan klaim al-Qur’an sendiri yang menegaskan bahwa Nabi tetap berbicara dalam kerangka wahyu dan mentaati Nabi berarti pula mentaati Allah. Artinya, hadits tetap berfungsi sebagai bayan terhadap al-Qur’an walau disebut sebagai bayan tasyry. Dari berbagai keterangan yang diperoleh, dapat disimpulkan pada garis besarnya, fungsi hadits terhadap al-Qur’an adalah sebagai bayan taqrir, bayan tafsir, bayan tasyri dan bayan nasakh.[26] Bayan taqrir dinamakan pula bayan ta’kid (penguat) dan bayan itsabat (penetap yang sudah ada), bayan muwafiq (serasi), seperti penegasan, hadits tentang keharusan berpuasa manakala menyaksikan bulan atau keharusan berwudlu sebagai penegasan terhadap al-Quran S. 2:185 dan S. 5:6).
Bayan tafsir dapat berupa memberikan rincian (tafsir) terhadap ayat al-Qur’an yang masih mujmal; misalnya batasan atau taqyid terhadap yang masih mutlak; dan memberi ketentuan khusus atau takhshish terhadap yang masih umum, seperti penjelasan tentang cara-cara shalat, batas memotong tangan pencuri, atau ketentuan khusus bagi si pembunuh yang tidak berhak menerima pusaka. Sedangkan bayan tasyri’ disebut pula sebagai bayan za’id (penambah) yang berfungsi mewujudkan suatu hukum atau ajaran yang secara eksplisit tidak terdapat di dalam al-Qur’an, seperti hukum syuf’ah, hukum rajam penzina dan hak-hak waris bagi seorang anak.[27]
Adapun yang disebut bayan nasakh meliputi bayan ibtal (membatalkan), bayan ijalah (menghilangkan), bayan tahwil (memindahkan) dan bayan taqyir (mengubah). Salah satu contoh dri bayan nasakh menurut sebagian ulama yang mengakui konsep nasakh adalah hadits pembatalan wasiat terhadap ahli waris sebagaimana yang sebelumnya dinyatakan berlaku oleh al-Qur’an (Q.S. 2:180).
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dari kajian ontologi diperoleh gambaran tentang hakikat dari hadits menurut berbagai kalangan, dengan figur sentral pribadi Nabi sebagai Uswah Hasanah atau norma hukum tentang struktur serta bentuknya. Tetapi pada kenyataannya istilah hadits tertuju pula kepada pribadi sahabat bahkan tabi’in dalam konteks tertentu.
Sedangkan kajian epistemologi memberikan petunjuk yang jelas tentang cara mengetahui dan menelusuri hadits Nabi yang sampai saat ini masih tetap terfokus pada analisis sanad dan matan. Analisis sanad sudah cukup transparan. Tetapi analisis matan masih memerlukan pengembangan. Maka pada sisi inilah berbagai pendekatan atau cara yang lebih relevan sehingga kebenaran suatu hadits dapat diukur dari berbagai sudut. Dan pada tahap praktisnya, hadits benar-benar dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam menjalankan peran-peran pokok al-Qur’an sebagai kitab hidayah bagi manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas Mutawalli Hamadah
1965 Al-Sunnah wa Makanatuha Fi al-Tasyri, Kairo.
——————————–
1980 Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.
Hasbi Ash-Shiddieqi
1987 Pokok-Pokok Ilmu Diroyah Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.
Jalal al-Din Abd. Al-Rahman bin Abi Bakr al-Suyuthi
1988 Tadrib al-Rawi fi Syarh Taqrib al-Nawawi, Dar al-Fikr, Beirut.
Jamal al-Din al-Qosimi
1980 Qowa’id al-Tahdits min Funun Musthalah al-Hadits, I, Dar al-Nafs, Beirut.
Luwis Ma’luf
1973 Al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, Dar al-Masyriq, Beirut.
M. Ajjaz Khatib
1981 Ushul al-Hadits, Dar Fikr, Beirut.
M. Bin Mukarram ibn Mandzur
t.t Lisan al-‘Arab, al-Dar al-Mishriyyah, Mesir.
Muh. Abu Zahu
1378 Al-Hadits wa al-Muhadditsin, Dar al-Fikr al-Arabi, Beirut.
Munzier Suparta dan U. Ranuwijaya
1996 Ilmu Hadits, LSIK, Jakarta.
M. Syuhudi Ismail
1988 Kaidah-Kaidah Sanad Hadits, Bulan Bintang, Jakarta.
Musthafa al-Siba’i
1949 Al-Sunnah wa Makanatuha fi Tasyri’ al-Islami, Dar al-Qaumiyah, Kairo.
Nurul al-Din Athar
1979 Manhaj al-Naqdi fi Ulum al-Hadits, Dar al-Fikr, Beirut.
Subhi Shalih
1988 Ulum al-Hadits wa Musthalahuhu, Dar al-Ilmu li al-Malayyin.
Taqiyyudin, Ibnu Taimiyyah
1388 Majmu Fatawa Ibn Taymiyyah, Dar al-Arabiyyah.
[1] Al-Ajjaz al-Khatib, hlm 20, Ibnu Mandzur, hal 436-439
[2] Nur al-Din ‘Athar, hlm 27
[3] Al-Ajjaz al-Khatib, hlm 17
[4] Imam Muslim, II, hlm 705 dan IV, hlm 2059
[5] Al-Munjid, hlm. 167
[6] Ibid, hlm. 3
[7] Kulliyat Abu al-Baqa, hlm 152
[8] Al-Baladzary, hlm 39
[9] M. Suyuthi, hlm 4 dan Subhi Shalih, hlm 5
[10] Ajjaz al-Khatib, hlm 19, dan Subhi Shalih, hlm 3
[11] Ajjaz al-Khatib, hlm 16
[12] Munzier Suparta, hlm 9
[13] Abas Mutawalli Hamdahi, hlm 23
[14] Ajjaz al-Khatib, hlm 19
[15] Muh. Abu Zahw, hlm 9, Munzier Suparta, hlm 13
[16] Ajjaz al-Khatib, hlm 28
[17] Mahmud al-Tahhan, hlm 15
[18] Ajjaz al-Khatib, hlm 8
[19] Ajjaz al-Khatib, hlm 32
[20] Ahmad bin Taimiyyah, I, hlm 18
[21] Ajjaz al-Khatib, hlm 66-70
[22] Muh. Abu Zahu, hlm 53
[23] Al-Qosimi, hlm 203-204
[24] M. Syuhudi Ismail, hlm xiv
[25] Muhammad Abu Zaha, hlm 40-41
[26] Hasbi ash-Shiddieqi, hlm 176-188, Abbas Mutawali Hamada, hlm 141-148, Mustafa al-Siba’I, hlm 343-346, dan Muh. Muh. Zahu, hlm 38-39
[27] Mustafa al-Siba’I, hlm 346